Sosio Antroponomics Pembangunan Indonesia

RzBzR

Oleh Muhamad Sowwam


Hal yang pertama yang akan saya sampaikan dalam tulisan ini adalah bahwa saya tidak berpretensi sebagai seorang sarjana sosiologi atau sarjana antropologi. Saya hanya seorang lulusan ekonomi yang berusaha untuk mengingatkan kembali kepada para ekonom akan pentingnya faktor-faktor non-ekonomi (sosio-kultural) dalam pembangunan.

Berdasarkan historis, disangkal atau tidak, pembangunan ekonomi Indonesia terutama sejak orde baru lebih beraliran neo-klasik. “aliran” ini lebih menggunakan analisa matematis (metode kuantitatif) sebagai tools utamanya dalam memahami fenomena yang ada, mulai dari analisa matematis yang sederhana sampai yang njelimet dengan model-model ekonometrikanya. Namun, dengan sifat “fanatis” yang dimiliki, para ekonom ini seolah “lupa” akan takdir dari disiplin ilmu ekonomi yang merupakan pecahan dari ilmu sosial bukan ilmu pasti.

Dampak dari sikap ini adalah melakukan reduksi permasalahan/ fenomena yang ada. Ceteris paribus, adalah kata yang terlampau sering untuk dijadikan “dalil” pembenaran analisa ekonomi/ kebijakan. Padahal dalam analisa ekonomi terutama yang berhubungan dengan perilaku manusia, kata ini bukan merupakan kata-kata “apologetik”, ekonom sepertinya harus lebih berpikir keras untuk (tidak) mencantumkan kata ini dalam analisa mereka.

Sikap “penegasian” unsur-unsur non-ekonomi ini dalam pengambilan keputusan atas suatu kebijakan publik akan berdampak pada “sakit-nya” masyarakat.

Ada banyak hal yang dapat menjadi perhatian atas hal ini. Hal pertama yang paling “mudah” ditemukan dalam ranah ekonomi adalah konsep pertumbuhan ekonomi. Pengejaran yang “keterlaluan” akan konsep ini pernah dilakukan semasa orde baru tanpa adanya konsep pemerataan. Akibatnya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang hanya didominasi oleh sebagian “kecil” kelompok masyarakat. Kebijakan pertumbuhan ekonomi yang menghilangkan konsep plural society-nya Furnivall (1948; 304) akan –pada akhirnya- menyebabkan konflik antar kelompok seperti yang terjadi pada tahun 1997, dan di beberapa daerah di Indonesia.

Sehingga ada beberapa kajian terdahulu dibeberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi jenis tertentu memang dapat menyebabkan kelompok-kelompok tertentu terpuruk dalam kemiskinan (Meier, 2001).

Kedua, sikap “penegasian” ini dapat terlihat pada kebijakan cash transfer PKPS BBM 2005. Program ini sangat tidak memperdulikan disiplin sosio-antropologi. Mulai dari penentuan kriteria penduduk miskin yang hanya ditentukan secara statistikal sampai dampak social. Pemberian transfer –berdasarkan konsep equivalent atau compensating variation ini, dan berdasar penghitungan model matematis yang sampai saat ini belum terbuka ”tabir”-nya— sebesar Rp 100.000/bulan ini bermasalah mulai dari identifikasi penduduk miskin sampai dampak sosialnya.

Pada tahap identifikasi, berdasarkan kriteria stastitik, banyak keluarga yang hanya memiliki beda hanya ”sehelai rambut” diatas penduduk miskin tidak mendapat bantuan, sehingga timbul sikap iri, dan timbul ”clash” pada akar rumput. Diantaranya dampak sosialnya adalah marginalisasi mental/ semangat berusaha. Dapat dibayangkan, banyak orang berduyun-duyun ”memohon/memaksa” mendapat predikat orang miskin. Sungguh sebuah ironi!.

Lain lagi jika kita menilik kisruh exxon-pertamina di cepu beberapa waktu lalu. Dengan berlandaskan metode kuantitatif (cost-benefit analysis) –lazim dipakai sebagai analisa kebijakan para ekonom (neo-klasik)—pemerintah memutuskan bahwa operator eksplorasi, eksploitasi minyak di blok ini bukan perusahaan domestik. Pemerintah sepertinya lupa, bila tidak ingin menyebut ”melupakan”, akan pentingnya sisi psiko-kultural dalam pembangunan. Lupa akan perlunya usaha menimbulkan semangat nasionalis, harga diri sebagai bangsa yang mempu mengekstraksi minyak dari bumi sendiri atas kekuatan sendiri.

Pemerintah (me)lupakan peran budaya sebagai suatu hal yang abstrak (gagasan, pemikiran) sesuai aliran ideational dalam pembangunan ekonomi. Budaya sebagai sistem pengetahuan, state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind dari bangsa indonesia.

Contoh lain yang perlu diperhatikan, ketika krisis menimpa. Diperlukan reformasi ekonomi. Namun permasalahannya reformasi ekonomi ini tidak memperhatikan daya dukung institusional. Kita (pemerintah dan ekonom) sepertinya lupa atas stereotipe manusia indonesia-nya Muchtar Lubis (manusia indonesia; 1977), meskipun terlalu generalisir namun tetap bermanfaat. Menurut dia ciri manusia indonesia diantaranya adalah hipokrit, beestachtig, ngak sanggup putar otak lebih tinggi (hooge geestarbeid), lepas dari tanggung jawab dan mencari pembenaran via penentuan kambing hitam. Disamping itu pemerintah juga lupa atas konsep amoral familist-nya Benfield (maksimalkan materi jangka pendek untuk keluarga, anggap orang lain melakukan hal yang serupa).

Akibat dari ini semua adalah timbulnya moral hazard, hilangnya efektifitas utang negara yang besar (dari IMF) karena menguap dalam kasus korupsi BLBI. Dan sekarang yang hanya bisa dilakukan adalah mencari kambing hitam.

Terlepas dari contoh-contoh menyakitkan diatas yang tidak akan ada habisnya jika dijelaskan satu persatu. Pemerintah, sekali lagi, harus memperhatikan apek sosial-antropologis dalam pembangunan ekonominya. Ada beberapa hal yang dapat menjadi fokus perhatian.

Pertama, pembangunan institusional. Hal ini perlu karena pentingnya aspek institusi dalam pembangunan ekonomi.

Senada dengan pendapatnya Douglas North (institutional change and economic performance), peraih nobel ekonomi 1993, menyatakan bahwa kinerja ekonomi bisa bagus hanya jika aspek kelembagaan berdinamika sesuai kebutuhan, tanpa itu mustahil kebijakan ekonomi mampu menyelesaikan permasalahan. Pemecahan permasalahan ekonomi seperti kemiskinan, pencapaian kesejahteraan adalah tujuan dari pembangunan ekonomi. Unsur kelembagaan tersebut diantaranya adalah aturan formal (Undang-Undang), aturan non-formal (kesepakatan, norma), dan aktor. Dengan demikian, pembangunan institusional dilakukan dengan merancang aturan formal yang memadai, menngikat para actor, sehingga tidak timbul moral hazard.

Jadi tanpa kualitas kelembagaan ekonomi, mustahil pemecahan permasalahan ekonomi atau tujuan pembangunan ekonomi akan tercapai. Jika, kedua hal itu ingin dicapai maka perlu adanya langkah yang un-convensional. Misalkan, pemberantasan korupsi via seluruh aspek kelembagaan. Lembaga pemerintah mesti memimpin isu ini, sehingga setiap orang bisa ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Setiap golongan memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses sumber-daya guna meningkatkan kesejahteraanya. Demokrasi-ekonomi!

Kedua adalah perhatian yang besar terhadap psiko-kultural manusia Indonesia.

Disini pemerintah dan seluruh elemen bangsa mesti memperhatikan pentingnya kualitas sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi yang nantinya akan meningkatkan pembangunan ekonomi. Pentingnya analisis peran manusia ini (psiko-kultural) sudah dimulai dari Arthur Lewis dalam the history of economic growth-nya, kemudian Gunnar Myrdal dalam asian drama-nya, serta ahli-ahli lain seperti Max Weber (protestant ethics and spirit of capitalism), Alex inkeles, bahkan Mcleland (N-achievement).

Teori-teori tersebut mengatakan pentingnya masyarakat yang berkualitas. Masyarakat yang demikian akan menimbulkan produktivitas yang tinggi terhadap suatu perekonomian. Masyarakat yang berjiwa wirausaha dapat menjadi modal pembangunan. Pembentukan innovational society mutlak dibutuhkan dari negeri ini. Pembentukan masyarakat tersebut dapat difasilitasi oleh sistem pendidikan yang baik tentunya, tidak hanya aspek akademis melainkan juga keterampilan, kepemimpinan dan aspek spiritualitas.

Jadi memang, ekonom (neo-klasik/neo-lib) yang menjadi think tank proses pembuatan kebijakan publik memang harus menilik kembali dari mana mereka berasal. Pendekatan-pendekatan yang berdasar analisis kuantitatif dan matematik an sich akan mereduksi peranan akan adanya aspek sosial dan aspek budaya dalam suatu kebijakan. Thus, kebijakan yang dibuat akan membuat esensi dari sebuah tujuan pembangunan ekonomi, kemakmuran rakyat, tidak (sulit) tercapai.

0 Responses to "Sosio Antroponomics Pembangunan Indonesia"